Oleh : Rinal Rahardian
Memahami logika pengelolaan kekayaan berdasarkan prinsip Islam,
dapat dilakukan menggunakan penjelasan pemaksimalan kepuasan (utility function)
individu Islam dalam mengalokasikan pendapatannya. Orientasi penggunaan
pendapatan (kekayaan) secara sederhana akan tertuju pada dua motif. Pertama,
orientasi pada alokasi barang dan jasa (sebagai konsekwensi kebutuhan hidup),
dan yang kedua orientasi pada alokasi amal shaleh (good deeds). Seiring dengan
pemahaman pada ketentuan syariat dan keyakinan pada nilai-nilai akidah dan
akhlak, maka diyakini kecenderungan prilaku individu pemilik kekayaan adalah
mengalokasikan pendapatannya untuk barang dan jasa maksimum sebatas kebutuhan
dasarnya ( basic needs), sehingga sebagai trade-off sisa pendapatannya
teralokasikan pada amal shaleh. Dan pada kondisi itu alokasi amal shaleh akan
mencapai tingkat yang maksimal.
Seiring dengan maksimalnya alokasi pendapatan
untuk amal shaleh, individu tersebut yakin bahwa Allah akan melipatgandakan
rizkinya, sehingga pada masa yang akan datang garis Budget Constraint akan semakin meningkat. Secara ekstrem, bagi
individu mukmin (muslim yang beriman), peningkatan pendapatan tidak merubah
tingkat alokasi pendapatannya untuk barang dan jasa (karena ia akan memelihara
pada tingkat kebutuhan dasarnya yang sejak awal telah teridentifikasi), tetapi
yang berubah dan meningkat adalah amal shaleh. Ini yang disebut dengan
pengelolaan kekayaan yang berorientasi pada pemaksimalan kemanfaatan diri
(diukur berdasarkan kekayaannya (belum termasuk waktu, pikiran dan tenaga).
Dibawah ini pedoman dalam aplikasi pengelolaan
kekayaan secara Islam.
Mencari Harta
1. Niat, cara dan tujuan hanya dikarenakan,
digariskan dan ditujukan untuk Allah (halal dan thayib)
2. Mendukung Ibadah dan amal shaleh bukan
menghambat Ibadah dan amal shaleh
3. Mempertimbangkan optimalisasi kontribusi secara
waktu, tenaga dan harta bagi; dakwah, masyarakat dan keluarga
Membelanjakan Harta
1. Mempertimbangkan kebutuhan dasar
2. Mempertimbangkan kemanfaatan atau optimalisasi
amal shaleh; kepentingan dakwah dan masyarakat
3. Mempertimbangkan kepentingan dakwah, masyarakat
dan keluarga yang bersifat mendesak
Menyisihkan Harta
1. Menabung
i. Kebutuhan (bukan keinginan) di masa depan
ii. Kebutuhan sekarang yang mendesak
iii. Tidak bermotif menumpuk harta
2. Investasi/Usaha
i. Niat, cara dan tujuan hanya dikarenakan,
digariskan (syariat) dan ditujukan untuk Allah (halal dan thayib)
ii. Mempertimbangkan kontribusi kemanfaatan atau
amal shaleh yang maksimal bagi manusia lain; lingkungan keluarga dan masyarakat
iii. Mendukung kesejahteraan (kemandirian ekonomi
ummat) dan dakwah
Aktivitas pengelolaan harta juga harus dilandasi
oleh prinsip keyakinan bahwa setiap harta yang dibelanjakan dijalan Allah akan
Allah lipat gandakan balasannya, baik berupa pahala maupun balasan harta
materil (monetary gain). Keyakinan ini pula yang nanti pada pembahasan
pengelolaan kekayaan selanjutnya dalam rangka melindungi nilainya, menjadi
sangat krusial. Karena salah satu cara melindungi nilai kekayaan dalam Islam
(Islamic Hedging) adalah menginfakkannya di jalan Allah. Aneh? Ya seperti
itulah sebenarnya logika ekonomi Islam yang seharusnya menjadi keyakinan para
pelakunya, yang kemudian menjadi built in dalam prilaku ekonomi. Mari renungkan
kalimat mulia di bawah ini.
"Allah SWT tidak mewahyukan kepadaku untuk
mengumpulkan harta benda dan menjadi pedagang. Namun aku diperintahkan
sebagaimana yang tercantum dalam firman-Nya, Maka bertasbihlah dengan memuji
Tuhanmu dan jadilah kamu di antara orang-orang yang bersujud (shalat). Dan
sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal). (QS. Al Hijr:
98-99). Jadi dalam Islam, untuk memenuhi kebutuhan hidup tidak hanya
memikirikan keuntungan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja namun juga
mempertimbangkan unsur-unsur ibadah didalamnya (faktor akhirat).
0 komentar:
Posting Komentar