Minggu, 01 Juli 2012

Permodalan dalam Islam


Oleh : Inayah Subandi (Akuntansi 2011)

Islam adalah agama yang sempurna. Segala tingkah laku manusia dari ia bangun tidur hingga tidur lagi, telah diatur dalam al-qur’an. Bahkan sampai dengan kegiatan perekonomian pun, sudah diatur. Kegiatan ekonomi yang telah diatur dalam syariah islam, biasa disebut dengan ekonomi islam/ekonomi syariah. Ekonomi islam bersumber pada Al-Qur’an, Haddits, Ijma’ dan juga ijtihad dan qiyas. Pada jaman berkembangnya peradaban islam di dunia, ekonomi islam dapat berjalan dengan baik dan berkembang dengan pesat. Namun, mulai menghilang setelah peradaban islam runtuh dan negara-negara islam dijajah oleh negara-negara kapitalis dan imperialis. Ekonomi islam yang pada awalnya mulai menghilang seiring dengan runtuhnya peradaban-peradaban islam di dunia, kini mulai berkembang lagi.
Ekonomi islam mengatur jual-beli, sewa-menyewa, hutang-piutang, gadi, asuransi, dan dan juga tentang modal. Modal dalam islam disebut juga ra’sul maal. Ra’su dalam bahasa Arab adalah atas segala sesuatu. Jadi, ra’sul maal diartikan sebagai modal awal/pokok. Menurut pakar ekonomi islam, Sya’ban Fahmi, Ra’sul maal adalah semua kekayaan yang bernilai secara syar’i yang disertai usaha manusia dalam memproduksinya dengan tujuan pengembangan. (Fahmi dalam Mediawati: - )
Modal dapat diperoleh dari diri pribadi atau dengan kerjasama dengan orang lain/pihak lain. Mencampur modal atau melakukan kongsi dengan pihak lain disebut dengan syirkah. Syirkah  secara harfiah berarti mencampur. Sedangkan, syirkah dalam artian fiqih berarti suatu akad antara dua orang atau lebih untuk berkongsi modal dan bersekutu dalam keuntungan. Landasan hukum yang digunakan dalam syirkah adalah Q.S As-Shaad ayat 24, yang artinya:
 “dan sesungguhnya kebanyakan dari orang – orang yang berserikat itu sebagian mereka berbuat kepada sebagian yang lain kecuali orang – orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh.”
dan Hadist dari Abu Hurairah, Rosulullah SAW bersabda:
            “sesungguhnya Allah SWT berfirman, Aku pihak ketiga dari dua orang yang berserikat salama salah satunya tidak menghianati lainnya”. (HR Abu Dawud No 2936 dalam kitab Al Bayu, dan Hakim)
            Modal yang disetorkan dapat berupa uang, barang(berupa barang milik dan juga barang dagangan), dan hak kekayaan intelektual. Jumlah nominal harus diketahui dengan jelas pada awal periode. Untuk barang dan hak kekayaan intelektual, besar nominalnya sesuai dengan kesepakatan awal. Jika terdapat mata uang asing, maka kurs yang digunakan adalah kurs pada hari awal kegiatan tersebut. Uraian di atas memang sekilas tidak berbeda dengan modal pada ekonomi konvensional. Namun, perbedaan itu terletak pada prinsip ekonomi islam yang tidak boleh dilanggar oleh pelaku usaha. Contoh hal-hal yang dilarang adalah, menggunakan modal untuk menjalankan usaha yang bersifat perjuadian/gambling atau melakukan usaha yang mengandung riba, sedangkan pada kapitalis tidak ada pembatasan jenis usaha dan berorientasi maximizing profit menggunakan prinsip “mengeluarkan biaya seminimal mungkin, untuk mendapatkan keuntungan semaksimal mungkin”
      Al-Mawsu’ah, Al-ilmiyahwa, Al-Amaliyah, Al islamiyah berpendapat bahwa ada beberapa kriteria untuk dijadikan acuan/pedoman dalam menilai suatu investasi sesuai dengan Islam atau tidak. Kriteria itu adalah investasi tersebut baik bagi Islam, invstasi tersebut memberikan rezeki yang luas kepada masyarakat, membantas kekafiran, memeperbaiki pendapatan dan kekayaan, memelihara dan menumbuhkembangkan harta, dan yang terakhir melindungi kepentingan masyarakat.




0 komentar:

Posting Komentar