Oleh : Inayah Subandi (Akuntansi 2011)
Islam
adalah agama yang sempurna. Segala tingkah laku manusia dari ia bangun tidur
hingga tidur lagi, telah diatur dalam al-qur’an. Bahkan sampai dengan kegiatan
perekonomian pun, sudah diatur. Kegiatan ekonomi yang telah diatur dalam
syariah islam, biasa disebut dengan ekonomi islam/ekonomi syariah. Ekonomi
islam bersumber pada Al-Qur’an, Haddits, Ijma’ dan juga ijtihad dan qiyas. Pada
jaman berkembangnya peradaban islam di dunia, ekonomi islam dapat berjalan
dengan baik dan berkembang dengan pesat. Namun, mulai menghilang setelah
peradaban islam runtuh dan negara-negara islam dijajah oleh negara-negara
kapitalis dan imperialis. Ekonomi islam yang pada awalnya mulai menghilang
seiring dengan runtuhnya peradaban-peradaban islam di dunia, kini mulai
berkembang lagi.
Ekonomi
islam mengatur jual-beli, sewa-menyewa, hutang-piutang, gadi, asuransi, dan dan
juga tentang modal. Modal dalam islam disebut juga ra’sul maal. Ra’su dalam bahasa Arab adalah atas segala sesuatu.
Jadi, ra’sul maal diartikan sebagai
modal awal/pokok. Menurut pakar ekonomi islam, Sya’ban Fahmi, Ra’sul maal adalah semua kekayaan yang
bernilai secara syar’i yang disertai usaha manusia dalam memproduksinya dengan
tujuan pengembangan. (Fahmi dalam Mediawati: - )
Modal dapat diperoleh dari diri
pribadi atau dengan kerjasama dengan orang lain/pihak lain. Mencampur modal
atau melakukan kongsi dengan pihak lain disebut dengan syirkah. Syirkah secara
harfiah berarti mencampur. Sedangkan, syirkah
dalam artian fiqih berarti suatu akad antara dua orang atau lebih untuk
berkongsi modal dan bersekutu dalam keuntungan. Landasan hukum yang digunakan
dalam syirkah adalah Q.S As-Shaad
ayat 24, yang artinya:
“dan sesungguhnya kebanyakan dari orang –
orang yang berserikat itu sebagian mereka berbuat kepada sebagian yang lain
kecuali orang – orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh.”
dan
Hadist dari Abu Hurairah, Rosulullah SAW bersabda:
“sesungguhnya Allah SWT berfirman,
Aku pihak ketiga dari dua orang yang berserikat salama salah satunya tidak
menghianati lainnya”. (HR Abu Dawud No 2936 dalam kitab Al Bayu, dan Hakim)
Modal yang disetorkan dapat berupa
uang, barang(berupa barang milik dan juga barang dagangan), dan hak kekayaan
intelektual. Jumlah nominal harus diketahui dengan jelas pada awal periode.
Untuk barang dan hak kekayaan intelektual, besar nominalnya sesuai dengan
kesepakatan awal. Jika terdapat mata uang asing, maka kurs yang digunakan
adalah kurs pada hari awal kegiatan tersebut. Uraian di atas memang sekilas tidak
berbeda dengan modal pada ekonomi konvensional. Namun, perbedaan itu terletak
pada prinsip ekonomi islam yang tidak boleh dilanggar oleh pelaku usaha. Contoh
hal-hal yang dilarang adalah, menggunakan modal untuk menjalankan usaha yang
bersifat perjuadian/gambling atau
melakukan usaha yang mengandung riba, sedangkan pada kapitalis tidak ada
pembatasan jenis usaha dan berorientasi maximizing
profit menggunakan prinsip “mengeluarkan biaya seminimal mungkin, untuk
mendapatkan keuntungan semaksimal mungkin”
Al-Mawsu’ah,
Al-ilmiyahwa, Al-Amaliyah, Al islamiyah berpendapat bahwa ada beberapa kriteria
untuk dijadikan acuan/pedoman dalam menilai suatu investasi sesuai dengan Islam
atau tidak. Kriteria itu adalah investasi tersebut baik bagi Islam, invstasi
tersebut memberikan rezeki yang luas kepada masyarakat, membantas kekafiran,
memeperbaiki pendapatan dan kekayaan, memelihara dan menumbuhkembangkan harta,
dan yang terakhir melindungi kepentingan masyarakat.
0 komentar:
Posting Komentar