Minggu, 01 Juli 2012

Menyikapi Praktek “Multilevel Marketing” yang Berkembang Saat Ini

Oleh: Riki Wahyu Fauziadi (Akuntansi 2011)

 Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, “Perhatikan olehmu sekalian, sesungguhnya di dunia ini perdagangan merupakan sembilan dari sepuluh pintu rezeki”.[1]
***
Kegiatan ekonomi dalam pandangan Islam merupakan suatu tuntutan kehidupan. Di samping itu, juga merupakan suatu aktivitas yang memiliki dimensi ibadah bila didasarkan pada niat kerena-Nya. Islam tidak menghendaki umatnya untuk hidup dalam keterbelakangan dan ketertinggalan ekonomi. Akan tetapi, Islam juga tidak menghendaki umatnya untuk menjadi “mesin” yang akan melahirkan budaya materialisme dan hanya mengejar pada keuntungan semata tetapi Islam mengajarkan kepada seluruh manusia untuk berorientasi kepada sikap ta’awun (menolong sesama) sebagai tanggungjawab sosial dalam kegiatan ekonomi.

Untuk memenuhi kebutuhan hidup yang beragam manusia tidak mungkin hidup dalam kesendirian, ia harus bekerja sama dengan orang lain. Hal ini sebagaimana firman Allah yang artinya: “…, sesungguhnya Kami ciptakan kamu bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar kamu saling mengenal” (QS. Al-Hujurat:13) sepenggal dari ayat ini menekankan bahwa Allah mengajarkan kepada manusia  agar kita saling mengenal satu sama lain. Diantara individu satu dengan individu lain pasti memiliki keberagaman baik itu sikap maupun sifat. Pada dasarnya keberagaman ini merupakan suatu hal yang tidak bisa dihindari maupun dicegah. Hal ini akan mendorong bagi setiap individu untuk saling melengkapi satu sama lain, misalnya diantara produsen dan distributor, keduanya pasti memerlukan kerjasama dan salah satu bentuk kerjasama yang sekarang ini menjadi trend ialah konsep pemasaran Multilevel Marketing (MLM) yang sering juga disebut Network Marketing (Pemasaraan dengan sistem jaringan).

Maksud “Multilevel Marketing” adalah suatu konsep perusahaan dengan penyaluran barang (produk dan jasa tertentu) yang memberi kesempatan kepada para konsumen untuk turut terlibat sebagai penjual dan memperoleh manfaat dan keuntungan di dalam garis kemitraannya. Beberapa dekade belakangan ini, gerakan perusahaan pemasaran berjenjang atau dikenal dengan Multi Level Marketing (MLM) semakin berkembang pesat. Dalam istilah MLM, anggota dapat pula disebut sebagai distributor atau mitra niaga. Jika mitraniaga mengajak orang lain untuk menjadi anggota pula sehingga jaringan pelanggan semakin besar, itu artinya mitraniaga telah berjasa mengangkat omset perusahaan. Atas dasar itulah kemudian perusahaan berterimakasih dengan bentuk memberi sebagian keuntungannya kepada mitraniaga yang berjasa dalam bentuk insentif berupa bonus, baik bonus bulanan, tahunan ataupun bonus-bonus lainnya.

Pada dasar kegiatan multilevel marketing termasuk kedalam hukum fiqh muamalah, sebagaimana hukum fiqh muamalah itu sendiri adalah segala sesuatu boleh dikerjakan kecuali ada dalil yang menyatakan sebaliknya. Akan tetapi, pada prakteknya kerap kali mengindikasikan adanya riba (memutar dana yang terkumpul), gharar (penipuan), dharar (hal-hal yang membahayakan, merugikan, atau menzhalimi pihak lain), dan jahalah (ketidaktransparanan dalam sistem dan aturan). Namun, kita jangan kemudian terburu-buru dahulu dalam memvonis sebuah MLM, sebelum diketahui secara pasti sistem MLM tersebut. Apakah telah tercampur adukkan pada riba, gharar, dharar, maupun jahalah ataupun tidak?

Berikut ini ada beberapa hal yang `mengganggu` dari sistem pemasaran langsung yang diterapkan di MLM ini antara lain;

Terkadang komisi dapat mencapai ratusan ribu sedangkan harga produk tidaklah melebihi sekian ribu. Oleh karena itu, strategi perusahaan dalam memasarkan produknya ialah dengan menampakkan jumlah komisi yang besar yang mungkin didapatkan oleh anggota dan mengiming-imingi calon anggota baru dengan keuntungan yang melampaui batas sebagai imbalan dari modal yang kecil yaitu harga produk. Jadi tujuan transaksi tersebut bisa diartikan memiliki kecenderungan pada komisi yang akan diperoleh dan bukan lagi laba produk yang telah dijual.

Selain itu, metode pendekatan penawarannya itu sendiri karena memang di situlah ujung tombak dari sistem penjualan langsung dan sekaligus juga di situlah titik yang menimbulkan masalah. Banyak orang akan membeli suatu produk, hanya karena merasa tidak bisa menolak saat ditawari oleh teman atau saudaranya


“Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas dan di antara keduanya ada hal-hal yang syubhat di mana sebagian besar manusia tidak tahu. Barangsiapa menjaga dari syubhat maka telah menjaga agama dan kehormatannya dan barangsiapa yang jatuh pada syubhat berarti telah jatuh pada yang haram.”[2] Dan sebagaimana pesan Ali bin Abi Thalib ra, “Tinggalkanlah sesuatu yang meragukan untuk melakukan pada sesuatu yang tidak meragukan.”[3]


Selanjutnya dari segi fiqh muamalah ada beberapa ulama yang belum berani memastikan apakah Multi Level Marketing tersebut termasuk kedalam transaksi yang halal dan thayib? Saat ini, keberadaan Multi Level Marketing masih menjadi kontroversi. Berbagai alasan menjadi penyebab keraguan masyarakat akan kehalalan MLM mengingat begitu banyaknya kejadian di masyarakat yang kontroversial dimana masyarakat yang menginginkan kemakmuran, kekayaan dan kesehatan dalam waktu relatif singkat. Akan tetapi, jika sistem dan prateknya yang digunakan telah sesuai dengan tuntutan yang telah diajarakan oleh Rasulullah shalallahu ‘alahi wasallam, apakah kita masih akan memilih produk yang diragukan kehalalannya? Perkembangan MLM konvensional yang notabene terindikasi riba, gharar, dharar, dan jahalah, telah merajalela. Bagaimana kita akan menyikapinya agar tidak terjerumus oleh hal-hal tersebut? Sedangkan produk-produk berunsur syubhat beredar luas di pasaran dengan iklan-iklan yang sudah tidak syar’i terpampang di media massa. Semua ini merupakan tugas yang harus kita hadapi bersama agar kita dapat bergerak cepat mencegah kerusakan lebih lanjut, dengan membumikan ekonomi syari’ah.

Melihat mayoritas rakyat Indonesia adalah beragama Islam, usaha-usaha bisnis dengan menggunakan sistem MLM tentunya sangat prospektif serta memiliki potensi besar untuk berkembang. Tetapi untuk keamanan khususnya dari sisi syari’ah, untuk sementara ini kita berpegang dulu kepada rekomendasi MUI sebagai ulil amri. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi kita semua dan dapat menjadi pegangan untuk menyikapi Multilevel Marketing yang berkembang saat ini. Wallahu a’lam bishowab.


[1]  Hadits Riwayat Ahmad
[2]  Hadits Riawayat Bukhari dan Muslim
[3]  Hadits Riawayat Tirmidzi dan Nasai

0 komentar:

Posting Komentar